Thursday, January 28, 2010

Ekonomi China antara Mitos dan Realita

Berikut adalah mitos seputar ekonomi China berikut realitasnya.
Apakah ekonomi China bisa hebat karena memiliki perencanaan yang matang dan terintegrasi? Ternyata tidak.
Berbeda dengan di Indonesia, di mana pemerintah pusat sedemikian berkuasa (sebagai fenomena warisan era Soeharto), di China yang terjadi adalah kebalikannya. Pemerintah daerah memiliki otonomi yang sedemikian besar dan luas. Beberapa pihak malah menyebut “Federalisme” adalah realita struktur ekonomi dan politik China, sekalipun sebutannya tetap “propinsi”.
Lalu apa konsekuensinya?
Setiap propinsi di China berusaha menggerakkan ekonominya masing-masing dengan terjun ke berbagai bidang industri.
Mengapa?
Karena bagian terbesar dari penerimaan skala propinsi adalah berasal dari pajak dan pungutan terhadap industri.  Bila industri tidak berkembang, ya berarti tidak ada tambahan pemasukan.  Itu sebabnya mengapa negeri seperti China bisa memiliki 400 pabrik mobil dengan merk dan target market berbeda, sesuatu yang mustahil terjadi bila memang perencanaan ekonomi berlangsung secara sentralistik. (sebagaimana Jepang pada Pasca Perang Dunia II di bawah perencanaan dan kendali MITI).
Persaingan di tingkat propinsi tersebutlah yang mengakibatkan terjadi perang harga dan membanjirnya volume produk China. Persaingan telah membuat margin keuntungan produk-produk China sedemikian tipis dan masih akan cenderung turun.  Ekses dari persaingan pasar inilah yang kita temui dalam bentuk membanjirnya produk China di seluruh dunia dan diwarnai dengan harga yang sangat miring serta dalam ragam kualitas yang sedemikian luas.
Apakah tidak terkoordinasinya industri China ini membawa masalah bagi pemerintah pusat? Ya tentu saja.
Segala plan / perencanaan dari pusat jadi mandul.  Contoh, pemerintah pusat selalu mendorong agar propinsi-propinsi menahan diri untuk tidak hyper-expansi ke sektor besi baja, semen, otomotif dan real estate, karena telah muncul gejala kelebihan pasokan (over supply).
Berhasilkah? Tidak.  Gagal total.
Itu sebabnya kita melihat angka pertumbuhan China masih tetap sekitar 10% per tahun (dari angka target 8.5% per tahun) padahal ICOR (Incremental Capital Output Ratio) China semakin melambat.
Dari semula cuma himbauan, kebijakan pemerintah pusat China sudah mengarah pada usaha untuk “mencekik” arus pendanaan proyek-proyek di berbagai propinsi via mekanisme moneter (yaitu lewat kendali suku bunga) sebagai satu-satunya senjata efektifyang masih tersisa bagi pemerintah pusat, dan itu pula yang dapat mendorong bursa saham China anjlok.
Konsekuensi dari hyper-ekspansionisme di China adalah kebutuhan energi China yang tumbuh sangat tinggi (karena seluruh industri tersebut butuh pasokan energi sangat besar).  China yang pada tahun 2000 hanya memproduksi kurang dari 1 Milyar ton batu bara per tahun, saat ini memproduksi lebih dari 2 Milyar Ton per tahun dan itu pun masih juga kekurangan.  (itu sebabnya anda sering mendengar kasus kecelakaan di tambang batu bara diChina karena tambang-tambang marginal pun ikut “diperas” untuk memperoleh batu bara).
Sebelum tahun 2000, China tergolong eksportir batu bara terbesar di dunia, namun saat ini posisinya sudah terbalik, China adalah importir batu bara terbesar di dunia (eksportir terbesar saat ini adalah Australia dan Indonesia).
Batu bara adalah sumber dari 70% energi di China, sehingga ketika kebutuhan energi naik maka permintaan terhadap batu bara juga akan meningkat.
Tentang Investasi Asing (FDI) di China
Investasi asing di China memang cukup besar, tetapi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dana lokal China karena dana FDI kurang dari 10% total modalindustri di China.  Kebanyakan FDI ditujukan ke daerah-daerah ekonomi khusus (Special Economic Zone / SEZ) yang memberikan pajak ringan dan akses infrastruktur terhadap investor asing.  Dari SEZ ini pula sekitar 60% ekspor China berasal (produk dari SEZ umumnya tidak dijual di dalam negeri China), dan sekitar 40% dari kebutuhan impor China.  Jumlah karyawan di SEZ seluruh China cuma kira-kira 25 Juta jiwa, tetapi menghasilkan output yang setara dengan 30-40% GDP China setiap tahun karena ekspor adalah komponen penggerak ekonomi utama ekonomi China.
Melihat perbandingan tersebut di atas maka China sebenarnya berada pada paradoks yang sangat mendasar:  Di satu sisi adalah industri dalam negeri dari zone-zone di luar SEZ yang boleh dikata sangat-sangat-sangat tidak efisien (mayoritas pelakunya adalah BUMN China), dan di sisi lain adanya perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di China dengan tingkat efisiensi yang sangat luar biasa (5% angkatan kerja di SEZ memberi kontribusi terhadap GDP sampai 30-40%)
Kita harus sadar bahwa ekonomi China bukanlah sekadar bersifat ekonomi satu negara tetapi lebih mendekati struktur ekonomi satu benua (di mana propinsi-propinsi berperilaku seperti satu negara).  Itu sebabnya mengapa kita tidak bisa memandang ekonomi China hanya secara parsial, apalagi sekadar terpaku pada “HARGA MURAH” tanpa melihat proses seperti apa yang mendorong hal tersebut terjadi (yaitu desentralisasi ketimbang sentralisasi pengambilan keputusan ekonomi).
 
Sumber : forum Round Table Discussion di Centre for Chinese Studies – Departemen Sinologi UI.

0 komentar:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More